Tanggal : 11/10/2005
Nama saya Iselyus Uda, isteri saya Maria
Juana. Lima belas tahun saya menganut Keristian di Kalimantan Tengah sampai
akhirnya saya bertemu dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.
Tidak pernah terbayang kalau kelak saya
akan menjejakan kaki di tanah haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak
pernah terpikir saya akan memeluk Agama Islam yang sebelumnya saya benci.
sebab, sejak kecil saya dan isteri biasa hidup di persekitaran adat yang sama
sekali bertentangan dengan ajaran Islam.
Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau
tengkorak manusia. Memburu kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain,
merupakan tiang utama budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru
dipenggal sangat penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung.
Sementara tengkorak lama makin luntur kekuatan mistiknya. Untuk itu, diperlukan
perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan, baik
antar suku ataupun dengan masyarakat luar.
Jasa
Pendakwah Kristian
Sebetulnya agama Islam sudah tersebar di
tanah Jawa sejak Abad ke 15, terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu
Mulawarman yang kini termasuk Wilayah Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak
tidak tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang menternak dan
memburu babi serta memakan dagingnya. Islam juga melarang umatnya memelihara
anjin,. padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan kehidupan kami dan tidak
mungkin terpisahkan dari upacara adat dan ritual-ritual nenek moyang.
Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah
memberitahu adanya keringanan-keringanan tentang najis anjing dan babi, serta
tidak terlalu memaksa seseorang yang baru bersyahadat agar segera dikhatan.
Seakan keringanan itu sengaja disembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk
agama Islam kami harus meninggalkan adat istiadat neneng moyang. Sedikit saja
menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabarnya kami akan
dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan mengerikan?
Berbeda dengan Kristian, baik dari kalangan
Katolik maupun Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan
pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru adat
istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke kawasan-kawasan terpencil,
perang antara suku tidak pernah terjadi lagi berkat jerih payah mereka.
Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama kami tinggalkan, juga agama asli.
Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan upacara adat dan tradisi.
Pendakwah
Kristian Yang Sukses
Sungguh mereka banyak berbakti kepada suku
Dayak, termasuk saya dan keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria,
segala keperluan hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung
lapan orang anak dan seorang isteri , saya tidak pernah mengeluh walaupun saya
hanya sebagai penganut Kristian Katolik.
Sudah tak terkira ramainya penduduk yang
dapat saya ajak masuk gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin
umat Katolik di desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat
saya untuk mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang
salib di berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat
kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak saja
menasasarkan rakyat Sampit, ibu kota Daerah Kotawaringin Timur, melainkan juga
seluruh pelosok Wilayah Kalimantan Tengah.
Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil
di mimbar gereja dan di berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa
lainnya. Kemudian saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di Zon
Cempaga sejak tahun 1978.
Berkat kegigihan saya, hingga hampir
segenap waktu saya terisi oleh kegiatan rohani, bahkan saya berhasil mengajak
umat dan semua pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar
lengkap dengan asramanya.
Keyakinan
Fatamorgana
Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan
pikiran demi kejayaan agama Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh
bangga hati saya, sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu
ada sesuatu yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa
dan darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali. Yakni
tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali lewat ayat-ayat
suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan? Tidak kelirukah keyakinan
saya itu?.
Kebimbangan tersebut betul-betul sangat
menyiksa hidup saya dan mengusik ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang
pada diri saya yang tidak mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin
dalam dan lebar. ?? Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang,
tunjukkanlah kebenaran yang sempurna?? demikian ratap saya tiap malam tatkala
suasana sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam tasbih
--kalung salib-- erat-erat.
Saya menggapai-gapai bagaikan hampir
tenggelam di tengah-tengah samudera kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah
gurun kesunyian. Saya merasa ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap
dan pengap setelah seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian suram
dan hampir padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan
kesan-kesan fatamorgana. Saya mengharapkan jalan lurus menuju Tuhan yang sejati
dan hakiki.
Mimpi
yang menakjubkan
Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir
Oktober 1980, ketika kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya
didatangi mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi
saya antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya
ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang begitu
tampan dalam usia tuanya. Berpakaian serba putih dengan rambut berombak
tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia tampak sangat agung
dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan senyumnya.
Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah
yang tandus menuju sebuah gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun
matahari terik membakar, malah saya merasakan kesejukan yang indah dan menawan,
seolah gumpalan awan besar menaungi kami berdua.
Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan
suci, ia mempersilakan saya masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak
mengelilingi sebuah bangunan berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di
antara mereka ada yang sedang bersujud dengan khusyu??, banyak pula yang
berebutan mencium batu hitam kebiruan yang melekat di dinding kubus itu, begitu
saya datang, sekumpulan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan
kepada saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi,
alangkah harumnya, alangkah tenteramnya jiwa saya.
Setelah itu ia mengarak saya bersama
berbagai awan ke tempat lain yang pemandangannya amat berbeda, tetapi
suasananya sama, penuh keagungan, saya bertanya, ??Bangunan apa yang teduh
ini??? Ia menjawab,??Ini yang dinamakan Masjid Nabawi.??
Sebagai penginjil saya pernah mengenal
istilah itu, sebab mempelajari agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan
kebenaran kami dan membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut,
mengapa saya dibawa kemari?
“Busut tanah yang ditengah itu untuk apa?”
kembali saya bertanya,
“Itu makam Nabi Muhammad.” sahutnya.
Mendengar penjelasan itu sayapun makin
terkejut. Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan
saya sampai saya diajaknya berziarah ke situ? Meskipun beribu kebingungan
menyemak di hati, sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan
makam yang sederhana itu, Air mata saya menitis. Saya terharu walaupun tidak
tahu kenapa.
Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang
pengikutnya ratusan juta orang, tetapi makamnya begitu bersahaja, yang
ajarannya ditaati umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana
sangat lama sehingga tatkala saya sedar kembali, lelaki yang mengantar saya
tadi telah menghilang kedalam makam itu.
Panggilan
hati
Saya ceritakan mimpi ini kepada isteri dan
anak-anak, mereka terkesima, isteri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa
sebabnya. Barulah pada malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, “Saya
yakin itu bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan
bila tidak mahu mendatangi panggilanNya” “Maksudmu? Saya tidak paham akan
maksud isteri saya.” Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam. Siapakah
lelaki tua yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu. Kalau memang benar
merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk Islam,” Jawab isteri saya
tanpa ragu-ragu.
Sayalah yang justru dilanda kebimbangan,
terombang-ambing dalam iman Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat
akan salah satu surah al-Quran yang pernah saya pelajari,
”Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal,
Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan”
Saya ingin lari menghindari dengungan batin
itu, namun keyakinan saya tak cukup kuat untuk menahan ketukan ayat-ayat suci
al-Quran. Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di
desa Resettlement untuk menyebarkan semangat Injil pada masyarakat setempat,
saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya sedang meluntur ke titik
paling mengoncangkan. Anehnya, saya merasa bahagia menerima keadaan itu,
lebih-lebih ucapan isteri saya yang tak pernah lenyap dari pendengaran saya.
Kalau mimpi itu merupakan panggilan Tuhan, kita berdosa jika tidak
mendatangiNya. Kita harus masuk Islam.
Masuk
Islam
Akhirnya, awal March 1990 saya sekeluarga
mengunjungi Daerah Mentawa Baru Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat
penjelasan dari seseorang yang saya percayai memiliki pengetahuan mendalam
tentang agama Islam. Ia mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi
Muhammad saw. Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk
kaum Muslimin, berpeluang memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam
mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan mainan tidur. Sebab,
Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia boleh menyamar sebagai
Malaikat.
Itulah yang kian memantapkan tekad saya
sekeluarga untuk memeluk ajaran Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami
mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh para mualaf sebelum kami,
Arkenus Rembang dan Budiman Rahim, dari Pejabat Pengurusan Agama Sampit. Nama
saya Iselyus Uda diganti dengan Muhammad Taufik; isteri saya menjadi Siti
Khadijah. Begitu pula kelapan-lapan anak saya yang memperoleh nama baru yang
diambilkan dari al-Quran. Sepulang dari upacara pengislaman kami itu dada saya
terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya mengangkat
kedua tangan dan menggumam, ”Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu, telah datang
Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk anugerah kebenaran ini.”
Menebus
mimpi
Sejak hari paling bahagia itu saya mulai
berangan-angan, bilakah pemandangan dalam mimpi saya dulu itu mampu
dilaksanakan. Saya merindukan tanah suci tempat kelahiran Nabi dan tempat makamnya,
yaitu Makkah dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana
mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penganut Kristianl, akan
tetapi saya tidak mengeluh. Memang dari segi wang ringgit semakin berkurangan,
tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera dan penuh
berkah.
Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa,
itulah ujian iman. Wang ringgit bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak
dapat melanjutkan sekolah mereka dan keperluan sehari-hari kami mencukupi.
Adapun hidup kaya-raya bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya
di hati dan rezeki yang halal.
Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu
diterima Tuhan, ataukah lantaran sudah tertulis dalam takdirNya bahwa saya
sekeluarga harus menjadi muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi
dua bulan setelah kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah
SWT, yaitu ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani,
hadir ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi
mengantarkan tebusan mimpi.
Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H.
Munawir Syadzali, MA, merasa simpati kepada saya dan berkenan menerbangkan kami
suami isteri untuk menjalani ibadah umrah. ”Subhanallah, alangkah Akbarnya
Engkau, alangkah luas kasih sayang Engkau”. Sungguh saya tidak mampu
menggoreskan pena atau menggerakkan lidah bagi menggambarkan kegembiraan dan
kebahagiaan saya.
Tiada sesiapa yang membuka hati Menteri
Agama, pasti Allah Yang Maha Kuasa. Tanpa kehendakNya mana mungkin seorang
menteri memperhatikan seorang warga desa terpencil di Kalimantan Sekarang ini,
padahal kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan isteri
langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah suci
tahun 1991.
Akhirnya, hajat kami kesampaian merasai
pemandangan dalam mimpi dengan melaksanakan thawaf mengelilingi Kabah, menunaikan
sai antara bukit Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.
Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab
di Makkah dan Madinah mulai dikabulkanNya. Sekembalinya dari tanah suci ada
seorang hartawan yang tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah
kepada saya.
Saya berniat menghabiskan sisa umur saya
untuk menebus dosa-dosa pada masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya
bekerja keras memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti
keyakinan saya kala itu. Ihdinas shirathal mustaqim.
Itulah kisah benar yang saya dapat kutip
daripada kisah rakyat Indonesia bagi pedoman hidup kita. Sesungguhnya kita
beruntung dilahirkan sebagai orang Islam seharusnya kita hargai nikmat Islam dengan
sentiasa berusaha meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt.
Comments